Klik Me...

Featured Video

Minggu, 29 April 2012

Indonesia Tidak Dijajah 350 tahun

POSTED BY RIFAN SYAMBODO CATEGORIES: LABEL:  , 
Tak ada sejengkal pun wilayah Nusantara dijajah Belanda sampai tiga setengah abad.

SEBAGAI orang yang nyaris 25 tahun menetap di Belanda, saya sering ditanya tentang masa lampau Belanda di Indonesia. Ada pertanyaan menarik seperti adakah bekas-bekas masa lampau itu terlihat di Belanda? Ada pula pernyataan langsung seperti “Apakah Belanda sampai 350 tahun menjajah Indonesia?” Bagi saya, itu tidak terlalu menarik.

Apakah benar Belanda menjajah selama itu?

Ayo kita hitung. Apakah kita harus bersetuju bahwa Belanda mulai menjajah Indonesia bersamaan dengan berdirinya VOC pada 1602? Mungkin karena tidak tahu versi angka tahun lain, biasanya langsung dijawab setuju. Ada pula versi yang mengatakan penjajahan dimulai pada 1596, ketika kakak beradik De Houtman tiba di Banten. Tapi itu pun sulit disebut sebagai awal penjajahan Belanda, karena Cornelis de Houtman cuma melakukan penjajakan. Belanda belum benar-benar menjajah. Jika awal penjajahan tahun 1602 ditambah 350, kita baru merdeka pada 1952. Bagaimana dengan proklamasi 17 Agustus 1945 dan pengakuan Belanda pada kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949?

Sebenarnya banyak sekali dampak buruk kolonialisme Belanda di Indonesia. Tapi, mengapa kita selalu menekankan lamanya kolonialisme yang justru tidak benar itu? Ini bukti betapa kita benar-benar buta sejarah, selain akibat ulah Orde Baru menghapus sejarah, mereduksinya hanya sebagai angka tahun dan peristiwa belaka. Sejarah sebagai narasi tentang perubahan, pergeseran dan perkembangan pemikiran tetap asing bagi kita.

Bagaimana sebaiknya melihat penjajahan Belanda serta pelbagai macam aspek negatifnya? Pernyataan “Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun” mengandung banyak ketidakbenaran dan salah persepsi. Tidak ada satu pun wilayah Indonesia yang benar-benar dijajah selama 350 tahun. Maluku dan Banten/Jakarta sebagai markas besar VOC mengalami penjajahan maksimal selama 340 tahun. Bahkan Maluku atau Ambon baru Belanda kuasai pada 1630, kalau dihitung dari 1602 sampai 1942 ketika Jepang masuk, Belanda jelas sudah tidak efektif lagi menguasai Nusantara.

Selain Banten/Jakarta dan Maluku, Belanda bertahap menundukkan wilayah-wilayah Nusantara. Kebanyakan baru berlangsung pada abad ke-20 ketika kolonialismenya bercorak Politik Etis. Sisi lain Politik Etis yang bertujuan mendidik kaum inlanders, oleh orang Belanda disebut sebagai pacificatie, gampangnya penaklukan wilayah-wilayah luar Jawa. Aceh baru ditaklukkan pada 1904 –bahkan Belanda baru sepenuhnya berkuasa pada 1912–, dan Bali dikuasai pada 1906. Dengan begitu Aceh maksimal dijajah Belanda selama 38 tahun dan Bali selama 36 tahun.

Artinya, kita tidak bisa pukul rata bahwa seluruh wilayah Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun. Kalau itu tetap dilakukan, kita akan keliru memahami perjuangan orang-orang Aceh dan Bali yang mempertahankan wilayahnya dari pendudukan Belanda. Kita juga akan salah memahami kepahlawanan Tjoet Njak Dien, karena dia mati-matian mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan Aceh. Bukan karena Tjoet Njak memberontak terhadap (penjajahan) Belanda. Waktu itu, Aceh belum dikuasai Belanda. Sampai akhir abad ke-19 Aceh merupakan sebuah negara berdaulat, bahkan memiliki duta besar di Turki. Bukankah dengan menganggap Indonesia dikuasai Belanda selama 350 tahun berarti kita juga menganggap Aceh sudah lama dikuasai Belanda, sehingga Kesultanan Aceh dan perlawanan Tjoet Njak Dien kehilangan maknanya.

Kesalahan lain adalah menyebut “Indonesia”. Seolah-olah Indonesia sudah lama ada dan dijajah Belanda selama 350 tahun. Indonesia baru lahir pada 17 Agustus 1945. Sebelum itu adalah Hindia Belanda, dan sebelumnya pada abad ke-19 adalah Kesultanan Aceh, Kerajaan Bone, Kerajaan Klungkung, dan lain-lain. Indonesia sebagai sebuah negara, belum ada.

Ada pula pendapat yang menampilkan Belanda sebagai penjajah yang tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu tiga setengah abad. Ini jelas tidak benar. Yang mulai menjajah sebenarnya adalah sebuah perusahaan multinasional bernama VOC atau gampangnya Kumpeni. Selama abad 17 dan 18, Belanda merupakan republik. Ketika VOC bangkrut, jajahannya diambil alih oleh Belanda yang masih belum bercorak monarki. Kemudian muncul apa yang disebut interregnum (penguasaan sela) Inggris pada awal abad ke-19 dengan Sir Thomas Stanford Raffles sebagai gubernur jenderal. Pada waktu itu Belanda sendiri dijajah oleh Napoléon.

Ketika Belanda merdeka dari jajahan Prancis dan berubah menjadi kerajaan serta Inggris mengembalikan Nusantara, Belanda benar-benar menguasai Indonesia pada 1813. Tak lama kemudian dengan memberlakukan Tanam Paksa, alam dan rakyat Jawa langsung dijadikan sapi perahan. Sebagai kerajaan, wilayah Belanda masih mencakup wilayah Belgia. Keduanya masih satu kerajaan. Bahkan salah satu gubernur Hindia Belanda pada awal abad ke-19, Leonard du Bus de Gisignies, adalah orang Belgia. Jangan-jangan ini berarti kita juga pernah dijajah Belgia? Pada 1830 Belanda kembali mengalami perubahan karena Belgia memisahkan diri.

Nah, kalau hanya menyebut Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun, selain jangka waktu itu salah, pelbagai perubahan penting yang terjadi di Belanda selama kurun waktu tiga setengah abad akan luput dari sudut pandang kita. Bagaimana membicarakan kolonialisme Belanda tanpa terjebak dalam pelbagai kesalahan tadi? Jangan khawatir: tanpa menyebut durasinya, kita masih tetap bisa menuding banyak keburukan kolonialisme Belanda di Indonesia. Salah satunya, dan ini jarang sekali diungkap orang adalah Tanam Paksa.

Orang Belanda sendiri mengakui betapa Tanam Paksa merupakan cara menyedot kekayaan dari wilayah jajahan. Bahkan sampai Cees Fasseur pun, sejarawan konservatif Belanda, mengakui hal itu. Katanya, berkat apa yang disebut Indische baten (keuntungan Hindia), Belanda bisa membangun jaringan kereta api yang sampai sekarang masih dipergunakan. Demikian pula dua jalan air penting Belanda, Noordzeekanaal dan de Nieuwe Waterweg, dibangun dengan keuntungan Hindia itu.

Anehnya, walaupun sudah mengakui keburukan Tanam Paksa, orang Belanda tetap saja menggunakan istilah Cultuurstelsel yang tak lain adalah bahasa pejabat pada abad ke-19 ketika politik memaksa petani Jawa ini dilancarkan. Ini juga bisa kita tudingkan pada mereka. Kalau sudah tahu buruknya, mengapa tidak menggunakan istilah Tanam Paksa saja yang dalam bahasa Belandanya adalah gedwongen coffieteelt? Di Belanda, baru Jan Breman yang menggunakan istilah ini. Pakar sosiologi pedesaan ini sekarang terlibat dalam polemik sengit dengan Cees Fasseur soal Tanam Paksa. Fasseur berpendapat, walaupun dirugikan, tapi petani Jawa masih sedikit memperoleh manfaat Tanam Paksa ketika hasil panen mereka dijual ke pasar internasional.

Breman tidak setuju, integrasi ke pasar dunia itu menurutnya malah memiskinkan. Mengutip seorang pejabat kolonial yang mbalelo, Breman dalam buku terbarunya mengenai Tanam Paksa di Pasundan menulis bahwa petani Zeeland (Belanda tenggara) pasti tidak akan mau kalau hasil panennya dijual di bawah harga pasar. Lebih dari itu, pelbagai pembatasan lain yang diterapkan penguasa kolonial terhadap warga beberapa desa Pasundan pada abad ke-18 merupakan semacam laboratorium untuk mengembangkan apartheid yang pada abad ke-20 berlaku di Afrika Selatan.

Hal lain yang bisa kita tudingkan ke hidung orang Belanda adalah kenyataan bahwa mereka tidak pernah mengakui proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Bagi Belanda, Indonesia baru merdeka pada 27 Desember 1949, ketika Den Haag menyerahkan (bagi kita mengakui) kedaulatan Republik Indonesia Serikat dalam sebuah upacara di Istana De Dam, Amsterdam. Beda lima tahun itu adalah upaya gagal mereka merebut kembali Indonesia yang sudah memproklamasikan kemerdekaannya. Baru pada 2005, ketika hari ulang tahun proklamasi ke-60, Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Bot hadir pada upacara detik-detik proklamasi. Sebagai menlu pertama Belanda yang hadir pada upacara itu, dia menyatakan mengakui secara moral proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pernyataan ini tidak tegas dan sangat mengambang.

Apa maksudnya “mengakui secara moral” itu? Mengapa tidak langsung saja mengakui proklamasi kemerdekaan kita? Ada yang menafsirkan ucapan semacam ini tidak lebih dari tameng untuk melindungi negara (tentu saja negara Belanda) dari kemungkinan tuntutan pengadilan yang diajukan kalangan bekas pegawai negeri Hindia Belanda. Selama penjajahan Jepang misalnya pemerintah Belanda tidak menggaji mereka lagi. Padahal mereka belum dipecat sebagai pegawai negeri. Dihalangi oleh kemungkinan-kemungkinan semacam ini Belanda pada akhirnya tidak pernah bisa tegas dan jelas dalam berhubungan dengan Indonesia. Rasanya seperti maju kena, mundur kena.

Melalui dua contoh di atas –sebenarnya contoh itu masih banyak– kita diajak untuk melek sejarah supaya paham, sadar dan bisa menerima bahwa dalam sejarah tidak ada yang statis dan tidak berubah. Indonesia baru lahir setelah Proklamasi 17 Agustus, sebelum itu Indonesia adalah Hindia Belanda yang dijajah Belanda. Tetapi selama penjajahan itu banyak terjadi perubahan dan itu bukan hanya berlangsung di Hindia Belanda melainkan juga di Belanda.

Sekarang Indonesia sudah merdeka, akankah perubahan itu berhenti seperti sering kita dengar dalam slogan NKRI harga mati? Silahkan memikirkan dan menjawabnya sendiri. Yang jelas Timor Timur sekarang sudah jadi Timor Leste, itu karena Orde Baru sudah jatuh. Mungkinkah kita menghentikan perubahan. Yang pasti, sejarah sebagai penjelas masa kini yang juga berarti perubahan, pergeseran dan perkembangan pemikiran tetap asing bagi kita.[JOSS WIBISONO/KONTRIBUTOR, peneliti tamu pada Pusat Kajian Asia Tenggara Universitas Kyoto, Jepang]

Sumber: http://www.majalah-historia.com

Foto Perjuangan Rakyat Indonesia

Indonesia kini sudah merdeka dari penjajahan negara lain meski belum Merdeka dari penjajahan negeri sendiri. Namun sebagai warga negara kita wajib berjuang untuk merdeka seperti para pejuang dulu yang memerdekakan Indonesia, jika kita melihat foto-foto di bawah ini, rasanya sangat biadab jika orang-orang yang sekarang tinggal di Indonesia, khususnya para pemerintah, tidak bersyukur. Dalam kata lain, menjaga kemerdekaan dengan cara menjadikan negeri ini lebih baik lagi.











Sumber: http://eocommunity.com/showthread.php?tid=17852  

Bung Karno: Persetan Dengan PBB!!!

Suatu hal yang lumrah apabila kita melihat seseorang berkorban demi apa yang dicintainya, demikian juga Bung Karno. Demi Indonesia Bung Karno mengabaikan penyakit yang menggerogoti dirinya. Bung Karno selalu tampil prima dihadapan publik, walau pada hakekatnya dia dalam keadaan lemah. Hal tersebut dilakukan demi menjaga rasa percaya diri seluruh rakyat Indonesia.

Berulang kali dokter pribadinya memberi nasihat kepada Bung Karno. Ini terkait dengan sakit ginjalnya, yakin makin parah di akhir tahun 60-an. “Kalau Bapak bisa tenang sedikit, dan tidak berteriak-teriak, niscaya Bapak tidak akan mendapat ulcers.” Yang dimaksud dokter adalah peradangan pada lambung akibat sakit ginjalnya itu. Baru saja dokter berhenti memberikan nasihatnya, Bung Karno meradang dan berteriak, “Bagaimana aku bisa tenang kalau setiap lima menit menerima kabar buruk?”

Berteriak adalah “hobi” Sukarno. Ia berteriak untuk memberi semangat rakyatnya. Ia berteriak juga untuk mengganyang musuh-musuh negara. Jika konteksnya adalah membakar semangat rakyat, maka Bung Karno adalah seorang orator ulung. Bahkan paling unggul pada zamannya. Sebaliknya, jika ia berteriak karena terinjak dan teraniaya harga dirinya sebagai presiden dan kepala negara, maka Sukarno adalah presiden paling berani yang pernah hidup di atas bumi ini.

“Inggris kita linggis! Amerika kita setrika!”, atau “Go to hell with your aid” yang ditujukan kepada Amerika.

“Malaysia kita ganyang. Hajar cecunguk Malayan itu! Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu”, yang ini saat Indonesia berkonfrontasi dengan di negara boneka bernama Malaysia.

Bukan hanya itu. Organisasi dunia yang bernama Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pun pernah dilawan. Tanggal 20 Januari 1965, Bung Karno menarik Indonesia dari keanggotaan PBB. Ini karena ketidak-becusan PBB dalam menangani persoalan anggota-anggotanya, termasuk dalam kaitan konflik Indonesia – Malaysia. Ada enam alasan yang tak bisa dibantah siapa pun, termasuk Sekjen PBB sendiri, yang menjadi dasar Indonesia menarik diri dari keanggotaan PBB.

Pertama, soal kedudukan PBB di Amerika Serikat. Bung Karno mengkritik, dalam suasana perang dingin Amerika Serikat dan Uni Sovyet lengkap dengan perang urat syaraf yang terjadi, maka tidak sepatutnya markas PBB justru berada di salah satu negara pelaku perang dingin tersebut. Bung Karno mengusulkan agar PBB bermarkas di Jenewa, atau di Asia, Afrika, atau daerah netral lain di luar blok Amerika dan Sovyet.

Kedua, PBB yang lahir pasca perang dunia kedua, dimaksudkan untuk bisa menyelesaikan pertikaian antarnegara secara cepat dan menentukan. Akan tetapi yang terjadi justru PBB selalu tegang dan lamban dalam menyikapi konflik antar negara. Indonesia mengalami dua kali, yakni saat pembebasan Irian Barat, dan Malaysia. Dalam kedua perkara itu, PBB tidak membawa penyelesaian, kecuali hanya menjadi medan perdebatan. Selain itu, pasca perang dunia II, banyak negara baru, yang baru saja terbebas dari penderitaan penjajahan, tetapi faktanya dalam piagam-piagam yang dilahirkan maupun dalam preambule-nya, tidak pernah menyebut perkataan kolonialisme. Singkatnya, PBB tidak menempatkan negara-negara yang baru merdeka secara proporsional.

Ketiga, Organisasi dan keanggotaan Dewan Keamanan mencerminkan peta ekonomi, militer dan kekuatan tahun 1945, tidak mencerminkan bangkitnya negara-negara sosialis serta munculnya perkembangan cepat kemerdekaan negara-negara di Asia dan Afrika. Mereka tidak diakomodir karena hak veto hanya milik Amerika, Inggris, Rusia, Perancis, dan Taiwan. Kondisi yang tidak aktual lagi, tetapi tidak ada satu orang pun yang berusaha bergerak mengubahnya.

Keempat, soal sekretariat yang selalu dipegang kepala staf berkebangsaan Amerika. Tidak heran jika hasil kebijakannya banyak mengakomodasi kepentingan Barat, setidaknya menggunakan sistem Barat. Bung Karno tidak dapat menunjung tinggi sistem itu dengan dasar, “Imperialisme dan kolonialisme adalah anak kandung dari sistem Negara Barat. Seperti halnya mayoritas anggota PBB, aku benci imperialisme dan aku jijik pada kolonialisme.”

Kelima, Bung Karno menganggap PBB keblinger dengan menolak perwakilan Cina, sementara di Dewan Keamanan duduk Taiwan yang tidak diakui oleh Indonesia. Di mata Bung Karno, “Dengan mengesampingkan bangsa yang besar, bangsa yang agung dan kuat dalam arti jumlah penduduk, kebudayaan, kemampuan, peninggalan kebudayaan kuno, suatu bangsa yang penuh kekuatan dan daya-ekonomi, dengan mengesampingkan bangsa itu, maka PBB sangat melemahkan kekuatan dan kemampuannya untuk berunding justru karena ia menolak keanggotaan bangsa yang terbesar di dunia.”

Keenam, tidak adanya pembagian yang adil di antara personal PBB dalam lembaga-lembaganya. Bekas ketua UNICEF adalah seorang Amerika. Ketua Dana Khusus adalah Amerika. Badan Bantuan Teknik PBB diketuai orang Inggris. Bahkan dalam persengketaan Asia seperti halnya pembentukan Malaysia, maka plebisit yang gagal yang diselenggarakan PBB, diketuai orang Amerika bernama Michelmore.

Bagi sebagian kepala negara, sikap keluar dari PBB dianggap sikap nekad. Bung Karno tidak hanya keluar dari PBB. Lebih dari itu, ia membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces/ Conefo) sebagai alternatif persatuan bangsa-bangsa selain PBB. Konferensi ini sedianya digelar akhir tahun 1966. Langkah tegas dan berani Sukarno langsung mendapat dukungan banyak negara, khususnya di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Bahkan sebagian Eropa juga mendukung.

Sebagai tandingan Olimpiade, Bung Karno bahkan menyelenggarakan Ganefo (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10 – 22 November 1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.

Bung Karno dengan Conefo dan Ganefo, sudah menunjukkan kepada dunia, bahwa organisasi bangsa-bangsa tidak mesti harus satu, dan hanya PBB. Bung Karno sudah mengeluarkan terobosan itu. Sayang, konspirasi internasional (Barat) yang didukung segelintir pengkhianat dalam negeri (seperti Angkatan ’66, sejumlah perwira TNI-AD, serta segelintir cendekiawan pro Barat, dan beberapa orang keblinger), berhasil merekayasa tumbangnya Bung Karno. Wallahu a’lam.

Sumber: http://www.eocommunity.com/showthread.php?tid=17402

Fakta Dibalik Perginya Belanda Dari Indonesia

Hampir sebagian besar masyarakat di Indonesia mengulas tentang Serangan Umum 1 Maret 1949, sebagai salah satu penyebab menyerahnya Belanda secara total di Indonesia. Bagi yang lupa dengan sejarah kota Jogjakarta, Serangan Umum 1 Maret ini adalah sebuah operasi militer TNI untuk menduduki kota Jogjakarta selama 6 (enam) jam. Kesuksesan operasi militer ini, akhirnya mendorong Dewan Keamanan PBB untuk mengeluarkan resolusi yang cukup keras kepada Pemerintah Belanda. Namun terus terang kesuksesan operasi militer ini, agak dibesar-besarkan oleh Soeharto setelah ia menjadi Presiden RI. Namun dari berbagai dokumen yang sekarang mulai terungkap, ada alasan-alasan lain kenapa Pemerintah Belanda mulai secara serius akhirnya meninggalkan Indonesia. Salah satu alasan tersebut adalah karena adanya 2(dua) peristiwa pembunuhan berikut.

Peristiwa Pembunuhan Jendral Simon Spoor

Pada hari Jumat 20 Mei 1949, Pimpinan tentara Belanda yang tertinggi di Indonesia, Jendral Simon Spoor, sang arsitek operasi militer ”Operatie Product” dan ”Operatie Kraai”, merayakan promosinya menjadi bintang empat di salah satu restoran pinggir laut dekat Tanjung Priok. Ia mengundang puluhan tamu dan sahabatnya untuk makan siang bersama, sambil menikmati udara cerah kota Jakarta. Jendral Spoor duduk semeja dengan ajudannya Kapten Smulders dan juga pendeta sahabatnya Veerhoven. Para tamu menikmati makanan sambil tertawa riang di hari Jumat yang cerah tersebut. Tidak ada kesan bahwa Jendral Spoor, Kapten Smulder ataupun Pendeta Veerhoven saat itu sedang sakit.

Namun setelah makan siang mendekati selesai, tiba-tiba ketiga orang di meja Jendral Spoor mendadak memegang perut mereka masing-masing, lalu langsung tersungkur di mejanya dan bahkan ada yang terjatuh dari kursinya. Kapten Smulders secara darurat dilarikan ke rumah sakit dan menderita koma selama berhari-hari. Pendeta Veerhoven, juga terpaksa di-evakuasi ke kapal ”Big Dipper” untuk dikirim ke Belanda agar bisa dirawat secara intensif. Sedangkan Jendral Spoor tidak terselamatkan dan meninggal beberapa hari kemudian. Anehnya, seluruh tamu di restoran tersebut, tidak ada satupun yang menderita sakit. Pemerintah Belanda, kala itu merahasiakan penyebab kematian Jendral Spoor, dan menyatakan bahwa ia meninggal karena terkena serangan jantung. Namun akhir-akhir ini hampir semua ulasan sejarah menyatakan bahwa kematian Jendral Spoor, adalah kemungkinan besar akibat diracun. Sayang tubuh Jendral Simon Spoor tidak sempat di-autopsi, sebelum ia dikebumikan di Pemakaman Menteng Pulo. Dikanan adalah foto terakhirnya pada tanggal 9 Mei 1949, sewaktu Spoor memberikan penghargaan Bintang jasa ”Singa perunggu” kepada Sersan Polisi Lelealu (seorang KNIL) di Jakarta.

Peristiwa Pembunuhan Rob Aernout dan Hubungannya Dengan Kematian Jendral Spoor

Letnan Muda Angkatan Laut Rob Aernout adalah seorang Polisi Rahasia Belanda yang ditugaskan secara khusus ke Indonesia. Tugas rahasia ini tidak pernah ia ungkapkan kepada siapapun sampai ia tertembak mati di Kampung Genteng. Lembang pada tanggal 28 Februari 1948. Lalu apa hubungan pembunuhan Letnan Aernout dan kematian Jendral Spoor?

Dari berbagai dokumen yang saat ini sudah bisa dengan mudah dibaca. Letnan Aernout rupa-rupanya ditugaskan ke Indonesia untuk menyelidiki kasus korupsi massal yang melibatkan para petinggi-petinggi Pemerintah Belanda di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, para petinggi tersebut adalah Gubernur Jendral Belanda HJ Van Mook, bersama Jendral Meyer dan Jendral De Waal. Kedua Jendral ini adalah anak buah tertinggi Simon Spoor dalam jajaran hirarki organisasi militer Belanda di Indonesia. Dari berbagai penyelidikan, para petinggi-petinggi Belanda ini melakukan beragam kegiatan penjualan senjata gelap, penyelundupan candu, melenyapkan mutiara maupun berlian dari kapal rampasan, melakukan penyelundupan gula, serta banyak lagi kejahatan-kejahatan korupsi lainnya.

Lalu kenapa Jendral Spoor harus dibunuh ? Rupa-rupanya Spoor pada pertengahan tahun 1948, sedang memberikan kesaksian kepada Komisi Penyelidikan Zaaijer, yang melakukan investigasi terhadap mewabahnya kasus-kasus korupsi oleh para petinggi Belanda di Indonesia. Spoor yang sebelumnya adalah kepala Angkatan Laut Belanda di Indonesia, membeberkan keserakahan bahwa para Jendral-jendral bawahannya, terus mencari keuntungan pribadi, dengan memanfaatkan kapal-kapal perang Belanda. Menurut berbagai informasi, sebagian besar pembeberan ini dilakukan Jendral Spoor, dengan memakai bukti-bukti yang diperoleh dari penyelidikan Letnan Muda Angkatan laut Rob Aernout. Itulah mungkin kenapa kedua orang ini harus dieliminasi. Di Negeri Belanda, Skandal ini lebih dikenal dengan nama ”De Zaak Arneout” atau ”Kasus Aernout”. Foto dikiri adalah cover buku laris yang mengulas tentang kasus ini.

Peran Louis Joseph Maria Beel

Pada tanggal 29 Oktober 1948, karena berita tentang kasus korupsi Gubernur Jendral Van Mook semakin melebar, akhirnya pemerintah Belanda mengganti Van Mook dengan Lous Joseph Maria Beel (foto dikanan sedang duduk). Pemerintah Belanda tidak tanggung-tanggung untuk menurunkan mantan Perdana Menterinya, sebagai Gubernur Jendral di Indonesia. Namun Beel rupa-rupanya tidak ingin menjadi Gubernur Jendral yang ”kotor” seperti Van Mook, ia adalah seseorang yang mempunyai integritas tinggi dan justru menjuluki jabatannya sebagai Komisaris Tinggi, bukan Gubernur Jendral lagi sebagaimana yang dipakai Van Mook. Beel-lah yang akhirnya ikut membidani penanda-tanganan gencatan senjata pada tanggal 7 Mei 1949, antara wakil Indonesia Moh Roem dan wakil Pemerintah Belanda Van Royen. Perjanjian ini nantinya lebih dikenal dengan nama perjanjian ”Roem-Royen”.

Dengan perjanjian ”Roem-Royen”, Belanda menyetujui untuk keluar dari kota Jogjakarta. Para pimpinan tertinggi Indonesia-pun harus dibebaskan oleh pemerintah Belanda. Sebaliknya di pihak Indonesia, TNI diminta untuk menghentikan serangan-serangan gerilyanya kepada tentara Belanda. Dari berbagai tulisan sejarah, rupa-rupanya selain kasus korupsi yang melemahkan mental juang para tentara Belanda di Indonesia, gempuran operasi gerilya TNI juga terus mengakibatkan korban tentara Belanda yang semakin meningkat. Sehingga banyak tentara Belanda, yang sebenarnya ke Indonesia karena wajib militer (bukan secara sukarela), terpaksa melakukan desersi. Itulah sebenarnya misi-misi utama Komisaris tinggi Beel. Beel mengakhiri tugasnya pada tanggal 18 Mei 1949. Dua hari kemudian, Jendral Spoor diracun dan kemudian meninggal. Sehingga berakhirlah riwayat sang Jendral Belanda, musuh bebebuyutan Jendral Soedirman.

Epilog

Pada tahun-tahun berikutnya, ”Skandal Aernout” ternyata sulit untuk dibuktikan. Dari berbagai persidangan militer, diperoleh penyataan dari para saksi bahwa Aernout dibunuh oleh para pejuang Indonesia di Lembang, dan bukan di-eliminasi oleh sesama tentara Belanda yang kecewa dengan ”nyanyian” Aernout kepada Jendral Spoor. Peristiwa peracunan Jendral Spoor di Tanjung Priok, akhirnya juga sulit untuk dicari siapa inisiatornya. Tetapi yang jelas, berkat kejadian-kejadian rumor skandal korupsi, di jajaran para petinggi Belanda, mengakibatkan mental bertempur tentara Belanda semakin melemah. Resolusi Dewan Keamanan PBB, desersi pasukannya akibat operasi gerilya TNI, dan juga keruwetan mengelola tentaranya di Indonesia, mendorong Pemerintah Belanda untuk akhirnya meninggalkan kota Jogjakarta pada Mei 1949, dan negeri Indonesia selama-lamanya pada akhir tahun 1949 (kecuali Irian Barat).

Sumber: http://www.triharyo.com

Mungkin Anda Juga Harus Baca

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...