Sebenarnya agak terlambat aku menuliskan pengalaman ini. Tapi Karena aku adalah penganut paham lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali (untuk pembelaan diri. Karena mulai dari jaman SMP sampe udah kerja seringkali datang terlambat..xixixixixi), akhirnya aku tuliskan pula pengalaman yang aku alami ini.
Pengalaman ini terjadi beberapa waktu yang lalu, dan tepatnya setelah aku hitung-hitung dengan menggunakan kalkulator yang batereinya hamper rusak, ternyata terjadi pada bulan kemarin. Tepatnya minggu kedua dalam bulan maret. Yakni tanggal 6 bulan maret tahunnya 2011. Lalu ceritanya bagaimana?? Sebentar lagi aku ceritakan..
Pada hari itu, kami, keluarga besar Sekolah kami, sedang berduka. Karena keponakan bapak jamin subagyo, s.pd, kepala sekolah kami meninggal dunia dan pada hari itu juga dikebumikan. Aku dan bapak Ibu yang lain berangkat ke wonokerto, sale, rembang tempat jenazah disemayamkan. 30 menit perjalanan berlalu, dan kami tiba disana dengan selamat. Terlihat para pelayat datang dengan wajah yang sedih (terlihat sedih, tapi ndak tahu juga seberapa sedihnya. Lha di pojokan ae waktu itu tak liat ada yang tertawa bareng tiwi oq.. alias bertawa tiwi gitu…)
Pelayat datang dari berbagai profesi, dan kebanyaka adalah para pejabat. Mulai dari guru, pengawas, kepala UPT, Penilik Sekolah, pejabat kecamatan, dan juga tak lupa turut hadir pula Bapak Camat. Tidaklah mengherankan bagiku, karena Kepala Sekolah kami, SDN 2 Mojosari selain dikenal sebagai Sosok yang lumayan terkenal, juga pernah menjabat sebagai kades wonokerto selama 2 periode. Jadi ya wajar jika yang melayat keponakan beliau adalah orang-orang gedhe di daerah sini.
Permasalahan timbul, ketika ditengah prosesi itu, tiba-tiba sepatu tua yang aku kenakan robek dan menjadi mulut buaya… tidak mengherankan, karena sepatu yang aku beli itu adalah sepatu mrah meriah dan tidak berbanderol tinggi.. (wehehehehehehe… satu kata buat aku… “mengenaskan!!!!!”)
Ditengah penderitaanku karena sepatu yang rusak itu, aku hanya bisa berdiam diri ditempat duduk yang dekat dengan musholla kecil. Tidak beranjak sedikitpun (jika dipaksakan untuk beranjak, terlihat jelas sepatu yang aku kenakan akan mempunyai mulut dan mencari korban untuk dicaplok… iya kalau korbane cewek manis, kalo korbane cewek taun 60 atau 70 an??? Hadoh…). Jadi mau tidak mau aku hanya bisa duduk dan memandangi keadaan sekitar plus merasa sebagai orang yang paling menderita dan paling memalukan sedunia. Bagaimana tidak, ditengah para pejabat yang terbilang penting di daerah itu, aku harus menerima kenyataan bahwa sepatu yang aku kenakan sangat tidak layak untuk dikenakan. Untuk sementara, kesederhanaan yang selama ini aku anut, runtuh tak berbekas..
Ketika aku setengah mengeluh dengan keadaan yang aku alami, tiba-tiba pandanganku tertuju pada sesosok wanita tua, yang turut pula melayat. Dengan pakaian yang sangat sederhana khas perempuan jawa, dan terkesan tidak ada keistimewaan sama sekali. Banyak yang mengacuhkan keberadaannya. Perempuan itu mengambil tempat di bawah pohon untuk sekedar berteduh. Terpisah dari para pelayat yang berpakaian rapid dan berpangkat keduniaan yang tinggi. Terdiam, dan hanya memandang orang yang melayat. Beberapa saat kemudian, beliau merogoh selendang “sayut” yang dikenakan, dan mengeluarkan beberapa bungkus permen. Aku lihat dengan seksama, dari beberapa permen itu, tak ada yang mempunyai merk sama. Dan aku yakin, jumlah permen itu tidaklah banyak, dan mungkin juga bukan beliau sendiri yang membeli. Namun yang membuat aku tertegun, beliau dengan ramah menawarkan apa yang beliau bawa itu kepada siapapun didekatnya. Beliau sadar, ditengah panas terik yang menyengat, dan tidak adanya air minum, permen bisa menjadi pengganjal rasa haus, tapi yang mengagumkan, permen itu bukan untuk dirinya sendiri. Namun permen yang tidak seberapa itu (paling banyak hanya 5 buah), beliau berikan kepada ibu-ibu disampingnya tanpa memikirkan dirinya sendiri. Dan aku tersentak ternayat beliau benar-benar tidak mendapatkan permen itu, mungkin ini adalah pembalajaran langsung dari Allah SWT, ditengah rasaku yang minder di kerumunan orang-orang berpangkat dunia itu. Masih ada mereka yang rela berbagi meskipun hanya sedikit barang yang mereka miliki. Dan aku yakin, tidak semua orang yang berpunya bisa melakukan hal yang dilakukan mbah-mbah itu. Satu lagi, tersadar pula aku untuk tidak silau dengan pangkat dan jabatan dunia itu. Seolah perempuan tua itu menyadarkan aku untuk tidak selalu menatap keatas.. dan mengajarkan untuk selalu memandang mereka yang dibawah..
Dan, Lagi-lagi hari itu aku pulang dengan membawa ilmu yang kudapatkan langsung dari “Pakarnya”, Perempuan tua sederhana yang namanya pun tidak kuketahui..
Tapi, untuk beliau, terima kasih untuk ilmu yang diajarkan kepadaku… J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar