For_Her 19/02/12
diambil Dari Pengalaman Roro Ima
Kejadian ini sudah berlalu hampir empat tahun yang lalu, Juni 2008. Tetapi masih saya ingat sampai sekarang, karna peristiwa ini-lah saya belajar memahami pentingnya "sikap" dalam mengatasi “hambatan”.Awal cerita. Atas dorongan kakak dan demi kemandirian, saya yang lulus SMA saat masih 17 tahun itu memutuskan pergi ke surabaya mengikuti ujian SNMPTN sendirian. Lokasi SNMPTN yang saya ikuti berada di UNAIR kampus B (Jl. Darmawangsa). Singkat cerita, sekitar pukul 12.30 WIB setelah tes dan melaksanakan sholat dhuhur dimasjid depan fakultas Ekonomi, saya berniat langsung pulang ke Paciran. Dikampus tengah ramai sekali saat itu, selain pelaksanaan SNMPTN juga mahasiswa-mahasiswa program studi ekonomi sedang berunjuk rasa bersama beberapa media digedung Fakultas ekonomi. Entahlah, apa permasalahannya saya tidak mengerti.Panas yang terik kota Surabaya mulai terasa, perut saya protes menahan kekosongan. Saya fikir dekat pintu gerbang, saya memutuskan untuk keluar area kampus saja untuk mencari makan. Dengan penuh percaya diri, saya keluar dan terus berjalan mengabaikan keriuhan teman-teman seperjuangan disamping trotoar. Sampai kawasan dr. Soetomo (masih Jl. Darmawangsa), tiba-tiba passion makan saya memudar. Saya hanya duduk, menikmati “kesibukan” kota surabaya yang seakan tak kenal lelah. Mungkin karna ini pertamakalinya saya pergi keluar kota sendirian, sejak kecil saya memang jarang diajak bepergian oleh orang tua karna saya mabuk darat. Huft.. jika diingat-ingat, saya pasti kelihatan ndeso sekali waktu itu:)Udara siang semakin menyengat dan aktivitas orang lalu lalang dipintu keluar RS dr. Soetomo mengingatkan saya tentang perut yang lapar. Kebetulan didepan tempat saya duduk terdapat seorang penjual nasi bungkus dan minuman, saya beranjak ke tempatnya.Nahas, saya yang sudah menyatakan “beli” pada ibu penjual nasi merasa malu bukan main ketika tahu uang dikantong saya tinggal Rp. 8.800,-. Tentu takkan cukup jika saya belanjakan, meski hanya satu bungkus nasi dan sebotol minuman. Tapi, kerongkongan saya yang haus sejenak menyingkirkan fikiran-fikiran yang kalut. Akhirnya, saya hanya membeli sebotol minuman, 3000 rupiah saja.Saya tidak habis fikir, kenapa uang saya tiba-tiba tinggalsegitu?? Saya teruskan langkah menyisir trotoar RS. Dr. Soetomo. Tiba-tiba saya dikejutkan dengan sapaan pria separuh baya yang meminta uang kepada saya untuk menambal ban sepedanya yang pecah. Saya langsung menaruh iba, melihat beliau tengah menuntun sepeda ontel yang lebih kecil dari badannya. Saat itu, saya hendak memberinya uang recehan tapi saya urungkan karna tidak mungkin cukup jika untuk menambal ban. Dalam fikiran, saya pun tidak mungkin bisa pulang dengan uang Rp. 5.800,-. Akhirnya saya memberinya satu lembar Limaribuan yang saya punya.Terasa berat karna hanya 800 rupiah saja ditangan. Namun, hati kecil saya yang polos saat itu seolah-olah berkata ikhlas saja karna Allah pasti menolong hamba-Nya yang berbuat baik, Bismillah saja. Tiba-tiba saya teringat Hp yang kakak berikan sebelum berangkat ke Surabaya siapa tahu bisa membantu. Saya mencoba sms, gagal!! Akh, ternyata pulsa tinggal Rp.940 (tahun 2008 tarif sms tidak se-murah sekarang). Saya lemas, tapi tetap melanjutkan perjalanan. Tidak lebih dari 10 menit kemudian, seorang bapak pengemudi motor berhenti disamping trotoar tempat saya berdiri. Tanpa basa-basi beliau bertanya kemana arah tujuan dan menawarkan diri untuk mengantarkan. Saya terkejut, apa pertolongan Tuhan secepat ini??.. saya fikir lagi, mungkin beliau tukang ojek, saya pun menolaknya dan berjalan lagi. Ternyata bapak tersebut terus membuntuti saya, sepertinya beliau mengerti fikiran saya. Bapak tersebut memperkenalkan diri bernama pak Sapuwan, dan berusaha meyakinkan saya bahwa beliau tidak mempunyai niat jahat seperti yang ada difikiran saya tentang kota besar seperti Surabaya. Saya malu sendiri, dan akhirnya menerima ajakannya mengantarkan saya ke terminal Wilangun. Di sepanjang perjalanan, pak Sapuwan bercerita bahwa beliau mengamati saya sejak tadi. Pak Sapuwan bilang saya mirip dengan anak perempuannya yang meninggal saat masih SMP (mungkin karna tubuh saya yang hanya 1,5 meter sama dengan siswa SMP dikota).Sampai di terminal Wilangun, tak lupa saya mengucapkan banyak terimakasih pada pak Sapuwan. Semoga Allah membalas budi baikmu, ujar hati kecil saya. Selepas sembahyang Ashar, saya membeli karcis peron Rp. 200,- dan melangkah ke perhentian bus Brondong-paciran. Dalam fikiran saya agak tenang, meskipun dalam hati berkata tidak mungkin mampu membayar bus Rp. 15.000,- sedangkan uang saya tinggal Rp. 600,-. Sampai pukul 17.00 WIB saya menunggu, sudah 2 bus Brondong-paciran yang berlalu. Tidak lama berselang, seorang kenek menyentuh tangan dan memberi isyarat bahwa supir –busnya- mengajak saya bicara. Saya mengintip kemudi bus, saya melihat tangan supir bus itu melambai tangannya menandakan saya agar masuk kedalam busnya. Karna penasaran, saya pun segera masuk kedalam bus dan mendekat ke arah supir. “Sampeyan ima anaknya pak Mukrim Wibowo ya? Aku temennya bapakmu dipondok. Ayo ikut, nanti saya berhenti diBanjarwati” ujar beliau.Allahuakbar, saya benar-benar merasakan Kebesaran Tuhan yang seolah-olah menunjukkan kepada saya saat itu bahwa Dia mampu memberi “jalan” dengan cara apa saja kepada saya untuk pulang. Saya diantarkan oleh pak Di supir bus dirumah kakak ipar saya di Banjarwati-Paciran, akhirnya mampu pulang dengan selamat. Meski secara logika saya tidak mampu.Kegagalan saya masuk diperguruan tinggi melalui SNMPTN pasti karna saat itu saya tidak sungguh-sungguh dalam belajar. Namun, pengalaman saya yang berharga ini tak-terlupakan. Saya merasa, akan lain ceritanya jika saya tidak membantu bapak-bapak yang ban sepedanya kempes. Apalagi saya tidak kenal siapa-siapa disurabaya dan saya benar-benar tidak berlebihan uang. Tetapi, ingatlah...KEBAIKAN SELALU MEMBAWA KEBERUNTUNGAN BAGI PEMILIKNYA...!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar