Mengapa kekerasan terhadap anak amat mudah terjadi? Salah satu jawabnya adalah karena banyak orang tidak mengenal dengan baik pengertian/batasan kekerasan terhadap anak.
Bahkan definisi berikut mungkin dipandang mengada-ada oleh sebagian orang. Kekerasan terhadap anak adalah “Semua bentuk perlakuan salah secara fisik dan/atau emosional, penganiayaan seksual, penelantaran, atau eksploitasi secara komersial atau lainnya yang mengakibatkan gangguan nyata ataupun potensial terhadap perkembangan, kesehatan, dan kelangsungan hidup anak ataupun terhadap martabatnya dalam konteks hubungan yang bertanggung jawab, kepercayaan, atau kekuasaan” (UNICEF, 2002).
Seorang ibu yang menjewer telinga anaknya agar mau mandi dianggap wajar, padahal tindakan itu berupa kekerasan fisik. Guru membentak-bentak murid agar mau duduk manis dan mendengarkan, terjadi di mana pun dan itu dianggap wajar, padahal guru telah melakukan kekerasan emosional. Bahkan kekerasan kepada anak sering “dibungkus” dengan alasan budaya. Misalnya, “Anak-anak di sini harus dipukul secara fisik agar disiplin karena budaya kita keras.”
Di tengah masih derasnya arus kekerasan seperti itu, diperlukan pendekatan baru, yakni penting menempuh pendekatan kelembutan terhadap anak. Dan salah satu tempat paling besar peluangnya untuk melakukan kelembutan terhadap anak adalah sekolah. Maka, sebaiknya dikembangkan apa yang disebut sekolah ramah anak (SRA). Kunci utama pembuka kemungkinan SRA tentu guru dan jalan menuju SRA yang harus ditempuh guru memang sulit, tetapi dapat dicoba.
Langkah awal
Rudolf Dreikurs menawarkan 10 langkah menuju SRA, antara lain, pertama, jadilah guru tidak lagi sebagai penguasa kelas/mata pelajaran atau mata pelajaran (mapel), tetapi pembimbing kelas/mapel.
Kedua, kurangi kelantangan suara dan utamakan keramahtamahan suara. Ketiga, kurangi sebanyak mungkin nada memerintah dan diganti ajakan.
Keempat, hindarkan sebanyak mungkin hal-hal yang menekan siswa.
Kelima, hal-hal yang menekan diganti dengan memberi motivasi sehingga bukan paksaan yang dimunculkan, tetapi memberi stimulasi.
Keenam, jauhkan sikap guru yang ingin “menguasai” siswa karena yang lebih baik ialah mengendalikan. Hal itu terungkap bukan dengan kata-kata mencela, tetapi kata-kata guru yang membangun keberanian/kepercayaan diri siswa.
Ketujuh, guru hendaknya menjauhkan diri dari hanya mencari-cari kesalahan siswa, tetapi akuilah prestasi sekecil apa pun yang dihasilkan siswa.
Kedelapan, guru sering berkata, “Aku yang menentukan, kalian menurut saja apa perintahku,” gantilah dengan “Aku anjurkan/minta, mari kalian ikut menentukannya juga.”
Perubahan sikap guru tak akan banyak berarti jika tidak terus dikomunikasikan kepada siswa, kepala sekolah, orangtua siswa, dan pihak lain, seperti polisi.
Peran dan kekerasan
Guru hendaknya memberi tahu (dan mengajak siswa) tentang pentingnya gerakan antikekerasan di sekolah. Sekecil apa pun tindak kekerasan terhadap siswa harus didiskusikan dan dicari penyelesaiannya. Laporan adanya tindak kekerasan juga perlu diakomodasi cepat dan jangan dibiarkan/tertunda sampai hari berikut.
Langkah lebih lanjut yang lebih jitu adalah libatkan siswa menyusun peraturan sekolah atau mendaftar perilaku yang baik yang harus ditunjukkan, baik oleh guru maupun siswa, setiap saat. Melibatkan siswa membuat rambu-rambu atau aturan pasti akan membuahkan hal yang amat mengejutkan bagi banyak guru.
Selama ini aturan sekolah disusun hanya oleh sekolah (kepala sekolah dan guru), padahal seharusnya dibuat oleh siswa sendiri berikut sanksinya. Semakin sering sekolah mendatangkan pihak kepolisian pasti berdampak baik karena siswa dapat semakin akrab dengan polisi sehingga berani melaporkan jika terjadi kekerasan apa pun.
Pihak orangtua (komite sekolah) dapat memfasilitasi hal-hal seperti mendatangkan polisi dan mengundang aparat pemerintah setempat untuk memberikan perhatian kepada sekolah.
Singkatnya, SRA amat mudah dan murah dilaksanakan di semua sekolah di mana pun berada, tetapi hasilnya akan amat mengagumkan ketika kita menyaksikan (kelak) tidak ada lagi kekerasan terhadap anak-anak oleh siapa pun.
Ditulis oleh:
JC Tukiman Taruna Praktisi Manajemen Berbasis Sekolah; Tinggal di Ungaran, Jawa Tengah
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0711/29/opini/4015330.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar