Berawal dari pelatihan Kepala Perpustakaan
Sekolah yang diadakan oleh Pusda Rembang beberapa waktu yang lalu, ada salah
satu wacana menarik yang disampaikan oleh bapak Edi Winarno, kepala
Perpustakaan daerah Rembang. Dalam salah satu pengisian materi pada pelatihan
tersebut, beliau mengungkapkan bahwa beliau sedang mencari buku yang mengangkat
tentang pulau muria. Hmmm… jrengg… pikiran saia menerawang. Bukannya muria
sekarang menjadi satu dengan daerah jawa tengah yang lain?? Kok bisa ada pulau muria??
Akhirnya saia bersemedi, dan berguru pada mbah gugel lagi.. setelah sekian
lama, dan mengambil berbagai bukti yang sangat sedikit, akhirnya saia bisa
mendapatkan berita terpercaya tentang keberadaan pulau muria ini. Ayok kita
pelajari bersama-sama keberadaan pulau muria ini.
Pada tahun 1967, R Soekmono membicarakan
lagi beberapa kesimpulan dari laporan Orsoy de Flines dan coba menelusuri
kembali tepi pantai lama, serta meyakini Kota Medang Kuno yang sering disebut
dalam berbagai prasasti abad ke-9 dan ke-10 —bahkan masih dikenang dalam
beberapa dongeng— terletak di tepi Sungai Lusi, di selatan bukit-bukit
Grobogan, dekat Desa Kuwu sekarang.
Di situlah agaknya terletak kota pelabuhan
itu, pada bagian dalam muara yang dapat dimasuki kapal, tetapi jauh dari
bangunan-bangunan suci di dataran Kedu. Untuk mendukung hipotesis yang baru
dapat dibenarkan setelah diadakan penggalian sistematis di daerah itu, Soekmono
mengingatkan suatu kutipan dalam Xin Tangshu tentang {sumber air asin alami{
yang menyangkut He-ling. Perlu diketahui, satu-satunya sumber air asin alami di
Jawa itu hanya ada di Kuwu, dekat Sungai Lusi, tempat para petani mengambil
garamnya sampai sekarang.
Jalan
Raya Daendels
Kajian yang lebih mutakhir tentang kondisi
sepanjang jalan raya pantura timur Jawa Tengah dilakukan Pramoedya Ananta Toer
pada tahun 1995, dan diterbitkan dalam buku berjudul Jalan Raya Pos, Jalan
Daendels. Pram menulis, Jalan Raya Daendels membentang 1.000 kilometer
sepanjang utara Jawa, dari Anyer sampai Panarukan.
Sejak digunakan tahun 1809, jalan ini
menjadi infrastruktur penting untuk selamanya. Jalan Daendels dibangun selama
satu tahun (5 Mei 1808-1809). Menurut sumber Inggris, pembangunan jalan melalui
kerja paksa (Rodi) ini menewaskan 12.000 orang rakyat kecil pribumi.
Yang menarik, Pram melukiskan jarak antara
Jalan Raya Pos dan garis pantai. {Yang ada, barang dua ratus meter dari Jalan
Raya Pos, di utara alun-alun Rembang, adalah jangkar besi yang cukup besar
berdiri miring, dipagari kayu. Orang percaya, itulah jangkar salah satu dari 26
kapal armada Laksamana Besar Cheng Ho, yang berawak 1.000 orang setiap kapal,
satu abad sebelum Belanda menjejakkan kakinya di Bumi Jawa{ (2005: 11-12).
Terakhir kali Pram melihat jangkar itu pada
penghujung tahun 1930-an. Kini jangkar itu terletak di kawasan wisata Pantai
Taman Kartini, persis di sisi utara jalan raya tengah Kota Rembang. Mengenai
kondisi tanah yang dihadapi Daendels, Pram (2005: 26) bercerita, {Sedang waktu
menggarap ruas Demak-Kudus memotong semenanjung Muria/Jepara, para pekerja
berkaparan dalam meninggikan tanah di rawa-rawa Karanganyar (Demak—penulis),
baik karena kelelahan, perlakuan keras, maupun malaria yang berabad menghantui
Karanganyar.
Malahan semasa mengerjakan ruas ini,
rawa-rawa Karanganyar sebagian merupakan tepian laut yang menjorok ke darat,
lingkungan alam yang cocok jadi habitat buaya{. Disebutkan juga, saat
pembangunan Jalan Raya Daendels sampai ke Demak, sejumlah besar sungai pantai
kecil-mengecil mengadang para pekerja. Bahkan Demak dibelah Kali Tuntang yang
sedang-sedang saja. Kendala lain, sebagian lokasi merupakan laut pedalaman,
atau teluk-teluk dangkal, sehingga harus dilakukan pengurukan.
Daendels pun memutar otak, mencari strategi
dalam menghadapi medan genangan air, untuk pembangunan jalan raya ini. Ia lalu
memerintahkan penggalian kanal di utara jalan raya, bukan saja untuk
mendapatkan tanah urukan, tetapi juga untuk menghubungkan Kali Serang di timur
dan Kali Tuntang di barat. Daendels boleh bangga, karena mampu {mengeringkan{
sekitar 36.000 bau rawa dan diubah menjadi sawah. Meski demikian, kata Pram
(2005: 94), banjir dan air genangan tetap mengancam wilayah rendah ini, baik
selama dan setelah Daendels.
Banjir
Semarang
Tentang Semarang yang juga selalu dihantui
banjir, Pram menggambarkan, {Sejak dulu Semarang adalah daerah genangan Kali
Garang. Untuk menyelamatkan kota yang berkembang di bidang ekonomi, industri
dan administrasi, Belanda memotong sungai ini sebelum memasuki kota dalam
bentuk kanal banjir, menjurus lurus ke utara sampai ke laut, dinamai Banjirkanal
Barat. Sebab di timur kota juga digali yang lain, Banjirkanal Timur, untuk
membuang luapan Kali Gempol{ (2005: 87-88) .
Tetapi ruas Kali Garang yang memasuki kota
tetap mengancam Semarang sebagai daerah genangannya di musim hujan. Ruas sungai
ini dinamai Kali Semarang. Secara periodik, biar pun telah ada kanal banjir di
barat dan timur, Semarang tetap terkena banjir 30 tahunan. Dari sejumlah kajian
sejarah tersebut dapat diperoleh gambaran, ruas jalan raya sepanjang pantura
timur Jateng dulu adalah daerah genangan air. Wilayah ini, sebelum abad ke-17,
adalah daerah perairan berupa selat yang menghubungkan Pulau Muria dan Pulau
Jawa.
Ketika jaringan jalan raya Anyer-Panarukan
yang dibangun Daendels melintasi Semarang-Demak-Kudus, rupanya sebagian besar
merupakan daerah rawa, bisa jadi hasil pengendapan selat setelah abad ke-17.
Dengan kata lain, struktur tanah di jalur Semarang-Demak-Kudus,
Kudus-Pati-Rembang, dan Semarang-Demak-Grobogan adalah tanah muda yang belum
stabil, sehingga rawan banjir, bergelombang, dan rawan amblas.
garis merah, perkiraan lokasi batas pantai pulau muria (Grafik gambar oleh sdn2mojosari.blogspot.com) |
Akhirnya, untuk membendung banjir dan
kerusakan jalan di sepanjang pantura timur Jateng, sudah saatnya pemegang
otoritas memelihara jalan berpikir bahwa medan yang sedang dihadapi adalah
{bekas selat{ dan rawa-rawa yang diuruk dan dikeringkan. Dengan cara berpikir
demikian, diharapkan pemeliharaan jalan raya pantura timur Jawa Tengah tidak
lagi sekadar tambal sulam, namun harus lebih terencana dan terstruktur,
didahului dengan kajian-kajian sejarah kondisi tanah yang dihadapi. Sampai di
sini, tepatlah ungkapan Bung Karno: jasmerah, jangan sekali-kali melupakan
sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar