Pancasila,
dasar dari segala sumber hukum Indonesia, telah berdiri kokoh dari tahun 1945.
Sejak diperkenalkan istilah Pancasila oleh ir. Soekarno pada 1 juni 1945, Pancasila
secara bertahap menjadi dasar dari segala dasar kehidupan berkebangsaan di
Indonesia. Mulai dari bidang politik, agama, nasionalisme, dan lainnya semuanya
berdasarkan dari persepsi Pancasila yang dijabarkan dengan sangat luas. Hal ini
sangat wajar. Karena Pancasila bersifat fleksibel jadi bias dijabarkan dalam
berbagai bidang peri kehidupan.
Masa
orde lama, masa dimana Soekarno memimpin negeri ini, Pancasila dengan kokoh
berdiri menjadii ideology tunggal kehidupan bangsa Indonesia, berdampingan
dengan UUD’45 (meski pada masa itu UUD’45 “diupayakan” untuk diganti dengan
UUDS dan UUD RIS). Namun pada masa ini trjadi penyimpangan-penyimpangan
terhadap Pancasila pula meski sang pemimpin Negara adalah pencetus Pancasila
itu sendiri. Yang paling diingat oleh masyarakat luas tentang penyimpangan yang
terjadi pada masa ini adalah, dengan munculnya periode yang dalam buku sejarah
dikenal dengan masa demokrasi terpimpin dan masa demokrasi liberal. Demokrasi
terpimpin dalam onteks kehidupan berbangsa dan bernegara berarti dipimpin oleh Pancasila,
dan dengan panduan Pancasila, disalah aplikasikan menjadi dipimpin oleh
presiden selaku panglima tertinngi revolusi. Sedangkan pada masa demokrasi
liberal, penyimpangan pun terjadi dengan sangat nyata. Pada masa ini, sering terjadi
pemberontakan yang bertujuan untuk memisahkan diri dari NKRi meski pada
akhirnya berhasil ditumpas. Perlu dicatat, demokrasiliberal bukanlah cerminan
demokrasi yang didasarkan pada Pancasila. Demokrasi liberal lebih condong ke
system demokrasi barat, sedangkan demokrasi Pancasila bukanlah demokrasi yang
bercirikan demokrasi barat ataupun demokrasi timur.
|
Pancasila Retak |
Masa
orde baru, yang terkenal dengan jargon melaksanakan Pancasila dan UUD ’45
secara murni dan konsekuen, keadaan Pancasila pun diselewengkan. Sejarah
mencatat, praktek KKN tumbuh subur pada masa ini. Hingga menjelang kejatuhan
presiden soeharto pada medio Mei 1998, Pancasila hanya dijadikan slogan tanpa
ada bukti riil untuk dilaksanakan. Pada masa ini, demokrasi Indonesia tumbuh
dengan embel-embel umum sebagai demokrasi Pancasila, namun pada kenyataannya,
demokrasi yang tumbuh adalah demokrasi binaan barat yang lebih condong ke
system kapitalis. Lebih mementingkan peri kehidupan yang berdasarkan pada
materi. Pembangunan digalakkan, namun intelektualitas dari segi agama,
dikesampingkan. Sehingga sangat wajar jika para pemimpin yang dicetak sangat
rentan terhadap godaan duniawi hingga berakibat penyelewengan-penyelewengan
terhadap nilai-nilai Pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara tumbuh
dengan subur.
Masa reformasi yang dimulai pada
tahun 1998, turut pula berdampak pada pengingkaran-pengingkaran Nilai-nilai Pancasila
semakin marak. Banyak yang tidak sadar dengan hal ini. Dengan alasan demi
rakyat, kesejahteraan masyarakat luas, hingga demi kehidupan berbangsa dan
bernegara yang lebih baik, dengan mengatasnamakan Pancasila para elite politik
melakukan hal-hal yang justru merupakan pengingkaran nilai dari Pancasila itu
sendiri.
Pada masa reformasi ini, kita bias
menemukan berbagai penyimpangan dan mungkin lebih tepatnya merupakan
pengkhianatan terhadap Pancasila itu sendiri. Ironisnya, Pancasila yang terdiri
dari 5 (lima) dasar, kesemuanya telah terkhianati dengan ulah para oknum yang
tak bertanggungjawab dengan alasan justru mengatasnamakan Pancasila dan NKRI.
Sekarang mari kita lihat, apa saja
pengingkaran terhadap Pancasila pada masa reformasi ini.
1. KETUHANAN
YANG MAHA ESA
Sila pertama dalam Pancasila, kita tahu adalah
ketuhanan yang maha esa, namun dalam
prakteknya, justru kehidupan berbangsa kita tidak bertuhan. Dalam ajaran agama
manapun, mengambil milik orang lain tidaklah dibenarkan. Apalagi diajarkan.
Namun, maraknya budaya korupsi, mencerminkan bahwa masyarakat kita sudah tidak
lagi mengindahkan perintah Tuhan. Maka, masih pantaskah kita jika menyebut
mereka bertuhan? Dalam bedah buku tentang “pengharaman” koruptor, yang
disiarkan oleh salah satu stasiun televisi nasional, H. Ali Mustafa Ya’qub dari
MUI (majelis Ulama Indonesia) pusat menyatakan bahwa “koruptor seperti orang
yang tidak bertuhan”. Selain itu beliau juga mengindikasikan bahwa budaya
korupsi yang tumbuh subur di Indonesia adalah buah dari sistem kurikulum kita
20-30 tahun yang lalu, dimana aspek kecerdasan dalam intelektual lebih ditekankan
tanpa dibarengi dengan aspek kecerdasan spiritual.
2. KEMANUSIAAN
YANG ADIL DAN BERADAB
Berbicara mengenai pasal kedua dari Pancasila, kita
kana dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang berpangkal pokok pada
kekuatan materi. Rasa kemanusiaan, rasa keadilan, dan rasa keberadaban,
hanyalah dimiliki oleh mereka yang memiliki kekuasaan ataupu kekayaan. Banyak
terjadi kasus penyelewengan pasal ini terutama dari segi hukum. Kita sering
melihat rakyat kecil, yang papa, terhina dan terabaikan, harus menghadapi
tuntutan hukum yang berat dengan kesalahan yang relative kecil. Semisal contoh,
seorang pencuri ayam, dengan nominal yang dicuri tak lebih dari seratus ribu
harus mendekam dalam tahanan hingga 3 bulan. Belum lagi jika sang pencuri
dihakimi massa hingga berakibat harus meregang nyawa. Sedangkan bagi mereka
yang dengan sangat santainya mengambil (tepatnya mencuri) uang rakyat yang
seharusnya dijadikan untuk pembangunan kesejahteraan rakyat, justru mendapat
perlakuan yang sangat enak. Ada yang mendapatkan fasilitas mewah dalam penjara,
ada yang bebas berkeliaran dengan alas an segudang, dan ada pula yang diberi
tenggat waktu sampai tak tentu lamanya untuk melakukan pembelaan diri. Semua
itu karena mereka mempunyai kekuasaan dan juga tentunya mempunyai uang. Sungguh
penyimpangan yang keterlaluan dan pengkhianatan yang sangat terhadap kaum
miskin yang dulu diperjuangkan dengan sepenuh hati oleh para pemimpin kita.
3. PERSATUAN
INDONESIA
Banyak
yang dapat kita temukan dari pengingkaran terhadap pasal ketiga Pancasila kita
ini. Yang pertama perlu kita soroti adalah semakin banyaknya kerusuhan yang
terjadi di Negara kita ini, hingga mengancam terjadinya disintegrasi,
timor-timur, lepas pada masa reformasi awal, dan disusul dengan pulau sipadan dan
ligitan. Ini adalah buah dari system pemerintahan yang terlalu desentralis,
yang lebih mementingkan pusat daripada pemerataan pembangunan dan kesejahteraan
hingga ke daerah. Lokasi-lokasi yang terletak di pinggiran, sangat tidak
diperhatikan sehingga muncul gejolak ingin memberontak dengan isu utama adalah
ketidakpuasan terhadap pusat. Aceh, papua, Maluku telah menyatakan hal ini
dalam setiap kegiatan separatis mereka. Untuk menanggulangi masalah ini,
pemerintah mencoba untuk melakukan perubahan dalam system pemerintahannya.
Hingga akhirnya, opsi otonomi daerah (bahkan di beberapa daerah diberlakukan
otonomi khusus) dirilis. Tujuan utama pemberian otonomi daerah adalah agar
daerah mampu mengelola sumber daya dan kekayaan yang mereka miliki, kemudian dipergunakan
untuk menyejahterakan rakyatnya. Hal ini sejalan dengan konsep awal otonomi
yang membebaskan daerah mengatur kehidupan wilayahnya serta memberikan
kesempatan yang sebesar-besarnya kepada daerah untuk menentukan arah
kebijakannya. Namun, sepeti kata pepatah, segala sesuatu pasti mempunyai nilai
baik dan nilai buruk. Begitu juga dengan otonomi daerah, yang semula diharapkan
mampu memecahkan berbagai masalah yang muncul dari system pemerintahan sentral,
ternyata pada kenyataannya, implementasinya justru menimbulkan permasalahan
baru. Pemberian kebebasan secra luas kepada daerah untu mengatur sendi-sendi
kehidupannya membuat Negara kita seperti terdiri dari beberapa bagian yang
terpisah-pisah. Beberapa daerah memiliki system “ketatanegaraan” yang berbeda
dengan system utama NKRI yang berpatokan pada Pancasila, UUD ’45. Ini pun
berdampak pada pemerintah pusat yang seperti kehilangan taji ketika harus
berhadapan dengan daerah yang “nakal”. Karena pemerintah pusat tak lagi
memiliki wewenang mutlak untuk mengatur dan megontrol daerah. Kondisi yang
demikian ini tentu sangat rentan terjadi penyelewengan karena lemahnya control
dari pusat.
4. KERAKYATAN
YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN / PERWAKILAN
Dari awal terbentuknya Indonesia, kita semua pasti
sudah sangat tahu bahwa system pemerintahan yang kita jalani adalah demokrasi
kerakyatan dengan cirri perwakilan. Namun, semenjak reformasi digulirkan, sila
ke empat dalam Pancasila kita tidak berjalan dan idak berfungsi sebagaimana
mestinya. Kita boleh berbangga dengan embel-embel Indonesia sebagai Negara
paling demokratis ketiga didunia (setelah amerika serikat dan india) namun,
kebanyakan dari kita mungkin belum begitu sadar bahwa demokrasi kita sekarang
bukanlah system demokrasi Pancasila. Sadar atau tidak, demokrasi kita kini
mulai bergeser menuju ke system demokrasi barat binaan amerika dan
antek-anteknya. Nilai-nilai Pancasila yang tekandung dalam system demokrasi
Indonesia perlahan-lahan dihapuskan, kemudian berganti dengan demokrasi yang
kita sendiri tidak tahu muaranya kemana.
Sebagai contoh penyimpangan yang
terjadi di Indonesia adalah, adanya pemilihan presiden, gubernur ataupun kepala
daerah secara langsung. Kita mafhum, banyak terjadi penyimpangan dari tata cara
pemenangan pemilihan, dan yang lebih penting lagi, ini bukanlah cerminan
demokrasi kita. Pasal ke empat dengan jelas menyatakan bahwa kita adalah Negara
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakila. Jadi, kita sebagai rakyat dibenarkan untuk memilih wakil kita untuk
duduk di parlemen, namun untuk memilih kepala Negara, ataupun kepala daerah,
kita serahkan kepada wakil-wakil yang telah kita pilih tersebut. Namun kita
terlanjur terlena dengan embel-embel “pemilihan langsung lebih demokratis
karena dipilih oleh rakyat”. Cobalah kita telaah dengan kapasitas kita sebagai
orang awam. Selain unsur-unsur money politic dan “serangan fajar” yang berperan
besar dalam penentuan jadi tidaknya kepala daerah, kita juga akan mendapati
anggaran daerah ataupun anggaran Negara semakin jebol dengan biaya
penyelenggaraan pemilihan tersebut. Belum lagi jika harus diadakan pemilihan
ulang, dan juga yang sangat tidak diharapkan adalah adanya bentrokan dari pihak
yang merasa dicurangi. Sehingga hal ini pun secara tidak langsung turut pula
memperlemah persatuan Indonesia. Bentrokan seperti ini jarang kita dapatkan
sewaktu presiden, gubernur, bupati, dan pimpinan-pimpinan yang lain dipilih secara
langsung, meski terdapat kesan main tunjuk dan sesuka hati.
Penyelewengan lain dari sila ke
empat Pancasila adalah tentang amandemen undang-undang ’45. Para wakil rakyat
yang seharusnya adalah representasi dari rakyat, ternyata dengan seenak hatinya
melakukan amandemen tanpa mengetahui rakyatnya menginginkan amandemen terhadap
undang-undang negaranya ataupun tidak. Dengan alas an perkembangan zaman dan
tidak sesuainya undang-undang Negara dengan tuntutan zaman, para wakil yang
kita pilih dengan sangat semangat melakukan amandemen terhadap UUD ’45 dengan
mengabaikan posisi rakyat apakah mereka menginginkannya ataupun tidak. Pada
kenyataannya “proyek” amandemen berjalan terus meski banyak pihak yang
mempertanyakan.
|
Dwi Tunggal, Merah Putih dan Garuda Pancasila |
5. KEADILAN
SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA
Berbicara tentang keadilan, jangan
berharap banyak akan memihak orang-orang kecil seperti kita jika hidup di Indonesia.
Karena semua sudah tahu, dan sebagian sudah membuktikan bahwa keadilan di
Indonesia sangatlah mahal harganya. Keadilan yang ada di Indonesia telah
dimonopoli, dikuasai oleh kaum-kaum borjuis. Hanya satetes atau dua tetes dari
keadilan itu yang dicipratkan kepada masyarakat kecil. Kita lihat, hanya
segelintir pimpinan kita yang mau dan berkenan memperhatikan nasib rakyat miskin
di daerahnya. Selebihnya, tentu kita tahu, kesejahteraan golongan, keluarga dan
teman-teman dekat para pemimpin lah yang diutamakan. Jadi, sebagai orang
miskin, yang tidak tahu apa-apa, hendaknya kita janganlah terlalu berharap dengan
yang namanya keadilan akan menghampiri kita. Contoh riil keadilan sosial yang
diselewengkan dengan sangat jelas terlihat dalam proses penerimaan CPNS. Di
berbagai daerah, kita telah mendengar dengan jelas akan adanya praktek “jalan
belakang” dan “titipan bapak”. Tentulah ini merupakan penyimpangan terhadap
nilainilai Pancasila kita. Seharusnya, dalam hal ini (penerimaan CPNS)
praktek-praktek seperrti itu diberangus dan biarkan rakyat bersaing secara sehat.
Jika ada yang diterima, tentulah benar-benar karena kualitas yang dimiliki,
bukan karena unsure-unsur lain. Ini hanyalah contoh kecil dari
penimpangan-penyimpangan Pancasila yang sering kita temui. Masih banyak lagi
hal-hal yang tidak kita tahu dan kita anggap wajar, namun sebenarnya adalah
bentuk penyimpangan terhadap ideology kita, Pancasila, ataupun demokrasi Pancasila.
Semoga, melalui tulisan singkat ini,
kita semakin tersadar bahwa masih perlu banyak pembenahan di kehidupan kita
dalam bernegara, berdemokrasi dan berideology sehingga kita bisa bekerja sesuai
dengan keduaukan yang kita miliki. Baik yang menjadi pemimpin, ataupun yang
menjadi rakyat biasa dengan harapan nantinya akan terwujud kehidupan seperti
apa yang dicita-citakan oleh Negara seperti yang tertuang dalam pembukaan
undang-undang dasar 1945 alinea ke empat. Pemimpin mempunyai kuasa, dan rakyat
mempunyai power. Kekuatan rakyat seperti apa yang pernah dikatakan oleh ir.
Soekarno terletak pada mass performing atau biasa kita kenal dengan mobilisasi
massa. Jika para pemimpin sudah tidak mampu lagi menangani masalah yang ada,
maka rakyat yang harus tampil dengan mobilisasinya.
“Seribu orang tua
hanya dapat bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia”
(Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat
Indonesia, Karya Cindy Adams)
“Massa adalah penentu sejarah, The Makers of
History!!”
(Kutipan pidato BK di Semarang 29 Juli 1956)
“Apakah kita mau
Indonesia merdeka yang kaum kapitalismenya merajalela, ataukah yang semua
rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam
kesejahteraan, merasa di pangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang
pangan kepadanya?”
(Ir. Soekarno, Pidato di
BPUPKI, 1Juni 1945)
(artikel untuk refleksi hari kesaktian Pancasila ke 45
tahun, sedan, september 2010)